Allah SWT telah menjadikan
Rasulullah saw. sebagai teladan terbaik bagi kaum Muslim dalam segala hal,
mulai dari masalah rumah tangga hingga masalah negara. Sayang, banyak umatnya
enggan meneladani beliau. Mereka lebih memilih untuk mencontoh dan mengikuti
figur lain—termasuk dalam masalah kepemimpinan dalam konteks kenegaraan—yang
sikap dan pemikirannya justru bertentangan dengan Islam.
Sifat-sifat Rasulullah
Tak terbilang pujian yang disematkan
kepada Rasulullah saw. atas kesuksesan beliau dalam memimpin umatnya. Bukan
hanya dari umat Islam, pujian juga dari orang-orang kafir yang memusuhinya.
Kesuksesan tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari pribadi beliau yang penuh
dengan sifat mulia dan sistem kepemimpinan yang dibimbing wahyu. Beberapa sifat
beliau dalam aspek kepemimpinan antara lain: Pertama, komitmen yang tinggi
dalam mewujudkan risalah dalam kehidupan. Rasulullah saw. tidak sekadar
diperintahkan untuk menyampaikan risalah Islam yang diwahyukan kepadanya, namun
juga diperintahkan untuk menerapkannya sehingga menjadi dominan dalam kehidupan
ini. Berbagai cobaan dan tantangan menghadang beliau, namun langkahnya tidak
pernah surut.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Ibnu Hisyam, ketika Rasulullah menyampaikan Islam kepada orang-orang Makkah,
reaksi mereka biasa saja. Namun, ketika beliau menyebut dan mengkritik
sesembahan mereka, Rasul pun dikecam dan ditentang, bahkan mereka bersepakat
untuk memusuhinya. Sejumlah delegasi Qurays juga mendatangi paman beliau agar
menghentikan sikap keponakannya itu. Jika tidak, mereka sendiri yang akan
mencegahnya. Namun, Rasulullah tetap tak bergeming. Beliau hanya mengatakan, “Demi
Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kanan saya dan bulan
ditangan kiri saya, sungguh saya tidak akan meninggalkannya hingga Allah
memenangkan urusan (agama) ini atau saya mati karenanya.”1
Hal yang sama juga tampak pada
saat beliau hendak ke Makkah, kemudian beliau melakukan Perjanjian Hudaibiyah.
Orang-orang Qurays berkumpul untuk mencegah kedatangan beliau. Mendengar hal
tersebut beliau bersabda: “…Demi Allah, saya akan selalu berjihad
memperjuangkan apa yang Allah utus saya untuk hal itu hingga Ia memenangkannya
atau leher ini terputus (mati).”2
Inilah visi utama (al-qadhiyyah
al-mashîriyyah) Rasulullah
saw. Dalam memenangkan Islam atas seluruh agama dan ideologi lainnya.
Kedua, berani
dalam menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya. Keberanian beliau tampak
jelas dalam setiap aktivitas yang diterjuninya, baik dalam urusan militer
maupun non-militer.3 Beliau merupakan sosok yang berani menghadapi berbagai
situasi yang berbahaya meski kadang mengancam jiwanya. Ali ra. beliau berkata: “Kamu
telah menyaksikan kami dalam perang Badar di mana kami berlindung di balik
Rasulullah saw. Beliau adalah orang yang paling dekat dengan musuh. Pada hari
itu beliau adalah orang yang paling banyak menderita.” (HR Ahmad
dan disahihkan oleh Syuaib al-Arnauth)
Ketiga, hidup
bersahaja. Meski beliau merupakan kepala negara, beliau tetap bersahaja dalam
menjalani kehidupannya. Padahal dengan kekuasaan yang dimilikinya beliau dapat
saja berperilaku layaknya pemimpin negeri-negeri Islam saat ini yang
bergelimang harta dan fasilitas namun abai terhadap rakyatnya. Bahkan ketika meninggal
dunia, baju besi beliau masih di tangan seorang Yahudi yang sebelumnya beliau
gadaikan untuk mendapatkan makanan senilai 30 sha’ gandum. Hal yang sama juga berlaku
pada keluarga beliau. Hasan telah meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah
bersabda, “Tidak ada makanan sebanyak satu sha’
yang tinggal sampai sore hari di keluarga Muhammad padahal jumlahnya ada
sembilan rumah.”4
Dari Ibnu Abbas ia berkata, “Rasulullah
saw. duduk di atas tanah, makan di atas tanah, mengikat kambing dan memenuhi
undangan para budak.” (HR
at-Thabrani dan menurut al-Haitsami sanad hadis ini hasan).
Keempat, melayani
dengan kasih sayang. Sikap kasih sayang beliau tidak terbatas hanya kepada
keluarga dan para sahabatnya, namun juga kepada umatnya. Bahkan penghormatan
beliau terhadap non-Muslim yang hidup dalam Negara Islam juga sangat tinggi.
Beliau bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا
لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ
أَرْبَعِينَ عَامًا
Siapa saja yang membunuh orang
mu’ahad (non-Muslim yang terikat perjanjian dengan Negara Islam) tidak akan
mencium bau surga, padahal baunya tercium dari jarak 40 tahun perjalanan (HR al-Bukhari dan Ibnu Majah).
Kelima, tegas
dalam menerapkan hukum Allah SWT. Rasulullah saw. tidak pernah berpaling
sedikit pun dari apa yang diwahyukan Allah, termasuk dalam menerapkan aturan
syariah dalam kehidupan publik. Ketika ada seorang wanita terpandang dari
Makzumiyah yang mencuri, sejumlah orang melalui perantara Usamah bin Zaid
meminta pengampunan kepada Rasulullah saw. Namun, beliau menolak dan bersabda:
وَاللَّهِ لَوْ كَانَتْ
فَاطِمَةُ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Demi Allah, andai Fatimah mencuri,
niscaya akan saya potong tangannya. (HR Muslim).
Ketegasan lain terhadap
pelaksanaan syariah dan tanpa kompromi juga ditunjukkan oleh sikap beliau yang
menolak permintaan delegasi Tsaqif yang akan masuk Islam, namun dengan sejumlah
syarat. Mereka meminta agar berhala-berhala mereka tidak dihancurkan hingga
tiga tahun. Namun, hal itu ditolak oleh beliau. Mereka lalu mereka meminta
ditunda setahun, tetapi juga ditolak. Bahkan mereka meminta sebulan, namun
lagi-lagi tidak dikabulkan. Mereka lalu memohon agar tidak dibebankan untuk
menjalankan shalat, namun lagi-lagi ditolak oleh beliau. Beliau hanya
menyetujui satu syarat—yang bersifat teknis—yakni agar berhala-berhala mereka
tidak dihancurkan oleh mereka sendiri. Beliau lalu mengutus Abu Sufyan bin Harb
dan Mughirah bin Syu’bah untuk menghancurkan berhala-berhala tersebut.5
Keenam, ahli
strategi yang ulung. Rasulullah juga dikenal memiliki kecanggihan strategi,
baik dalam urusan pemerintahan maupun militer. Dengan kekuataan SDM yang
terbatas, beliau dapat menaklukkan jazirah Arab dalam waktu singkat. Untuk
menaklukkan Khaibar dan sejumlah suku-suku yang bersekutu dengan Suku Qurays,
beliau terlebih dulu mengikat kafir Qurays dengan Perjanjian Hudaibiyah.
Rasulullah yang juga dibantu oleh Sahabatnya menerapkan strategi perang yang
belum masyhur di jazirah Arab namun efektif mengalahkan musuh, seperti
penggunaan parit pada Perang Ahzab, pengepungan Makkah dengan empat jalur
penyerangan, dan penggunaan dababah dan manjaniq untuk meruntuhkan benteng-benteng Bani
Tsaqif dan Thaif.
Sebagai Kepala Negara
Sebagai Kepala Negara
Seiring dengan gencarnya ide
sekularisme di neger-negeri Islam, agama Islam lalu didoktrinkan sebagai agama
yang hanya menjelaskan masalah spiritual. Rasulullah juga dianggap
sebagai pemimpin spiritual an sich yang hanya menyampaikan risalah dan
bukan sebagai kepala negara. Padahal dalam penelusuran berbagai sisi kehidupan
Rasulullah saw., doktrin tersebut sama sekali tidak memiliki pijakan. Sejumlah
langkah-langkah beliau pasca hijrah ke Madinah dengan jelas mencerminkan bahwa
beliau adalah seorang kepala negara dan bahkan secara menyeluruh hal tersebut
diriwayatkan secara mutawir.6 Langkah-langkah tersebut antara lain:
Pertama, beliau
melakukan pengaturan dan perjanjian dengan masyarakat Madinah. Dalam Piagam
Madinah secara tegas dinyatakan bahwa persoalan apapun yang dihadapi oleh
orang-orang beriman maupun orang-orang Yahudi harus dikembalikan kepada Allah
dan Muhammad saw.7 Beliau juga mengadakan perjanjian dengan masyarakat di luar
Madinah, yaitu dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Qurays, Penduduk Ailah, Jarba’
dan Adzrah.8
Kedua, beliau
mengangkat sejumlah Sahabat untuk menjadi pejabat pemerintahan Mereka antara
lain: (a) Mu’awin: Abu Bakar dan Umar;
(b) Wali: ‘Atab bin Usaid (Makkah), Badzan bin Sasan
(Yaman), Muadz bin Jabal (Janad); (c) ‘Amil: Said bin al-’Ash
(Shan’a), Zayyad bin Lubaid (Hadramaut), Abu Musa al-Asy’ary (Zabid dan ‘Aden),
Amru bin ‘Ash (‘Amman), Adi bin Hatim (Thai’), ‘Ala bin Hadrami (Bahrain); (d) Qadhi:
Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, Abu Musa al-’Asy’ary (Yaman), Abdullah bin
Naufal (Madinah); (e) Sekretaris Administratif: Ali
bin Abi Thalib (perjanjian dan perdamaian), Mu’aiqib (ghanîmah), Hudzaifah al-Yaman
(hasil panen Hijaz), Zubair bin Awwam (harta zakat), Mughirah bin Syu’bah
(hutang-piutang dan muamalah), Syurahbil bin Hasanah (stempel untuk raja-raja),
(f) Majelis Ummah: Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ja’far,
Ali dll.9
Ketiga, beliau
mengutus sejumlah Sahabat untuk menyampaikan seruan kepada raja-raja di luar
Madinah agar masuk Islam. Mereka antara lain: Dihyah bin Khalifah (kepada
Kaisar Romawi), Abdullah bin Hudzafah (kepada Kaisar Kerajaan Persia), Amr bin
Umayyah (kepada Najasyi Raja Habasyah), Hatib bin Abi Balta’ah (kepada Raja
Iskandariyyah), Amru bin ‘Ash (kepada Raja Uman) Salith bin Amru (kepada raja
Yamamah), ‘Ala bin Hadramy (kepada Raja Bahrain) Syuja’ bin Wahab (kepada Raja
di daerah Syam).10
Keempat, beliau mengorganisasi
peperangan, baik yang dipimpin langsung oleh beliau atau para Sahabatnya.
Menurut catatan Khaththab, perang (gazwah) yang dipimpin sendiri oleh Rasulullah
sebanyak 28 kali,11 sementara detasemen (saraya) dan perang yang dipimpin oleh sahabat sebanyak
15 kali.12 Dengan demikian selama 10 tahun kepemimpinan beliau di Madinah,
rata-rata dalam setahun ada 4 kali pengerahan pasukan.
Kelima, beliau
memutuskan berbagai perkara di Madinah, baik atas kaum Muslim maupun
non-Muslim. Nafi’ bertutur: “Rasulullah pernah merajam seorang
laki-laki dan perempuan Yahudi.” (HR
at-Tirmidzi dan menurut beliau hasan shahih).
Anas bin Malik berkata, “Rasulullah saw. pernah membunuh seorang
Yahudi karena membunuh seorang jariyah yang bermaksud mengambil perhiasannya.” (HR al-Bukhari).
Keenam, beliau
melakukan berbagai aktivitas pelayan publik seperti pengawasan pasar yang
beliau lakukan secara langsung. Beliau mengangkat qâdhi
hisbah seperti Said
bin Said di pasar Makkah. Samra binti Nuhaik bertugas melakukan amar makruf dan
nahi mungkar di pasar serta menghukum pelaku kemungkaran dengan tongkat yang
dibawanya.13 Rasulullah juga mengatur masalah kesehatan rakyatnya seperti
pelayanan kesehatan bagi mereka yang sakit,14 karantina penyakit dan manajemen
kesehatan lingkungan.15
Wajib Meneladani Rasulullah saw
Wajib Meneladani Rasulullah saw
Dengan fakta di atas jelas bahwa
Rasulullah saw. tidak hanya seorang nabi yang hanya mendakwahkan Islam, namun
juga seorang kepala negara yang mempraktikkan Islam dalam konteks kenegaraan.
Kaum Muslim sepeninggal beliau juga melanjutkan sistem pemerintahan tersebut
hingga runtuh tahun 1924.
Meneladani Rasulullah dalam segala
hal, termasuk dalam sistem kepemimpinan, merupakan sebuah kewajiban. Hal ini
secara tegas dinyatakan Allah dalam sejumlah ayat, seperti (QS al-Hasyr [59]:
7). Ayat ini menjelaskan bahwa segala yang dibawa Rasulullah saw.—termasuk
sistem pemerintahannya—wajib diambil. Sebaliknya, apapun yang dilarang beliau,
tidak boleh diikuti. Indikasi wajibnya mengambil segala yang berasal dari Rasul
dan haram mengambil selain yang diajarkannya adalah firman Allah SWT:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ
يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
Hendaklah orang-orang yang
menyelisihi perintahnya berhati-hati terhadap fitnah atau azab yang pedih yang
akan menimpa mereka (QS an-Nur
[24]: 63).
Penutup
Penutup
Kesuksesan Rasulullah saw. dalam
memimpin bukan hanya karena kepribadian beliau yang sangat mulia, namun sistem
yang dijalankannya juga berdasarkan tuntunan wahyu. Oleh karena itu, pemimpin
manapun yang mengidamkan kesuksesan dalam mengatur pemerintahan, namun tidak
mengikuti jalan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw., tidak hanya akan
menuai kegagalan dan kesengsaraan di dunia, namun juga azab yang pedih di
akhirat kelak. Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Muhammad
Ishaq ;Anggota
Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI]
Catatan kaki:
1 Abdul Salam Harun, Tahzîb
Sîrah Ibnu Hisyâm, Muassasah
ar-Risalah (1985), hlm. 58
2 Ibnu Hisyam, Sîrah
Ibnu Hisyâm, II/309, al-Maktab
as-Syamilah
3 Mahmud Syith Khattab, Ar-Rasûl
al-Qâid, Dar
al-Fikr (2002), hlm. 436.
4 Ibid.,
hlm. 460.
5 Abdul Salam Harun. Op.
cit., hlm. 297.
6 Taqiyuddin an-Nabhany, Ad-Dawlah
al-Islâmiyyah, Dar
al-Ummah (2002), hal. 127
7 Muh. Rawwas Qal’ah Jie, Sîrah
Nabawiyyah, Al Azhar Press (2007), hlm. 162-165.
8 Taqiyuddin an-Nabhany, Op.
cit., hlm. 123.
9 Ibid.,
hlm. 123.
10 Abdul Salam Harun. Op.
cit., hlm. 328.
11 Khattab, Op.cit., hlm. 420.
12 Khattab, Op.cit., hlm. 322.
13 Al- Kattany, At-Tarâtîbu
al-Idâriyyah, Syirkah
al-Arkam bin Abi al-Arkam (tt), hlm. 239.
14 Ibid., hlm. 256.
No comments:
Post a Comment